Saturday, January 24, 2015

ILMU NASIKH DAN MANSUKH



ILMU NASIKH DAN MANSUKH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Qur’an
Yang Diampu Oleh: Mufidah M.Pd.

Disusun Oleh,
Izza Firdiana Rizky     (133111012)
Baihaqi                        (133111013)
Rizki Ainun Hayati     (133111014)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO
SEMARANG
2013

I.            PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan sumber ilmu yang takkan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti. Banyak cabang-cabang ilmu pengetahuan yang digali dari Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh yang cukup panjang pembahasannya, namun kami telah berusaha untuk lebih teliti dan jeli dalam mempelajarinya. Dengan harapan sebagai seorang muslim yang taat dan paham kita semakin memahami isi kandungan Al-Qur’an secara benar dan baik.
Perbedaan-pendapat Ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontra bila dililhat dari lahirnya. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan, dan ada juga yang keseluruhan ayatnya bisa dikompromikan. Oleh karena itu, para Ulama’ menerima teori nasikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an.
Di samping itu, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa lain. Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu huum syara’ dengan hukum syara’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya tentang yang pertama dan yang berikutnya.[1]

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apakah pengertian Nasikh dan Mansukh ?
B.     Apa saja syarat-syarat terjadinya Nasikh dan Mansukh ?
C.     Bagaimana perbandingan antara Nasakh dengan Takhsis ?
D.    Sebutkan Macam-macam Naskh beserta contohnya ?
E.     Bagaimana cara mengetahui adanya Nasakh ?
F.      Bagaimana pendapat para Ulama’ tentang Nasakh ?

III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa mempunyai beberapa makna yaitu : Menghapus, merubah, membatalkan atau menggantikan hukum syara’ dengan yang lainnya. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’ ada empat (4) yaitu :[2]
1.         Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)
2.         Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut :
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَّكَانَ آيَةٍ وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُواْ إِنَّمَا أَنتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ 
Artinya :
“Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)
3.         Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4.         Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain)
seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama’ menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si-nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.[3]
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.[4]

B.     Syarat-syarat terjadinya Nasikh dan Mansukh
1.      Yang dinasakh (mansukh) itu hukum syara (ketentuan Allah & sunnah Rasulullah), bukan sesuatu yang dzatnya memang diwajibkan.[5] Seperti wajib iman kepada Allah, dan juga bukan sesuatu yang diharamkan karena dzatnya, seperti kufur. Karena kewajiban beriman kepada Allah dan larangan kufur itu tidak akan dinaskh.
2.      Yang menghapus (Nasikh) harus dalil-dalil syara, kalau bukan dalil syara tidak dapat disebut nasakh.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Nasikh, harus lebih kuat dari mansukhnya atau sekurang-kurangnya sama, jangan kurang dari itu, karena yang lemah tidak akan dapat menghapuskan yang kuat. Karena itu hadits mutawatir dapat menaskh (menghapus) hadits ahad, tetapi sebaliknya hadits ahad tidak dapat menasakh hadits mutawatir.
5.      Nasikh harus munfasil (terpisah) dari mansukhnya dan datangnya terkemudian dari mansukhnya, sebab kalau berturut-turut seperti, sifat dan istisna tentu bukan naskh, tetapi takhsis.[6]
6.      Antara dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil yang pertama dan dalil yang ke dua ada pertentangan, sehingga tidak dapat dikompromikan.[7]

C.     Perbandingan antara Nasikh dengan Takhsis
           Ulama berpendapat bahwa ada perbedaan yang tipis antara term takhshish dengan naskh. Untuk term yang di sebutkan terakhir (naskh) dapat di definisikan sebagai ‘menghapus hukum syara’ dengan dzalil syara’ yang datang kemudian’. sedangkan untuk term yang di sebutkan pertama (takhshis) dapat di definisikan sebagai ‘membatasi keumuman suatu lafadz hanya pada bagian-bagiannya’.
Menurut Dr.Subhi al-Shalih bahwa perbedaan antara kedua term tersebut dapat  di lihat dari beberapa hal, di antaranya:
1.         Dzalil-dzalil yang melandasi pengkhususan (takhsis) dapat berupa fikiran, perasaan, di samping kitab Allah dan sunah Rasul. Sedangkan naskh dzalilnya adalah syar’iy dan hanya mengenai kitab Allah dan sunah Rasul. Oleh karena itu hukum syara tidak dapat di batalkan dengan dzalil aqli atau rasional.
2.         Nasakh adalah menghapuskan seluruh satuan hukum dari yang tercakup dalam dalil Mansukh, sedangkan Takhsis merupakan hukum dari sebagian yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.         Nasakh hanya terjadi pada dalil yang datang kemudian, sedangkan Takhsis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
Konsekuensi logis dari perbedaan keduanya adalah setelah bagian yang bersifat umum di khususkan, maka yang tinggal tetap berlaku dan tidak dapat di batalkan dengan alasan umum, sedangkan bagian naskh yang di naskh (mansukh) yang hukumnya telah di cabut, membatalkan semua bentuk alasan untuk mempertahankannya atau untuk mengamalkan.[8]

D.    Macam-macam Naskh beserta contohnya
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu:
1.         Naskh Sharih
Yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perang pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ يَغْلِبُواْ أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَفْقَهُونَ
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti.“ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :
الآنَ خَفَّفَ اللّهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُواْ أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya :
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.         Naskh dhimmy
Yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, tidak bisa dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya ayat tentang kewajiban wasiat kepada ahli waris yang dianggapmansukh oleh ayat waris.
3.         Naskh kully
Yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah: “orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari..”,[9] di-naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...”, dalam surat yang sama.
4.         Naskh juz’i
Yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4: “ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”, dihapus oleh ketentuan li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama “ dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

Berdasarkan jenis penghapusannya, maka dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1.      Al-qur’an menasakhkan Al-qur’an.
Contoh: QS al-anfal: 65 yang dinasakhkan oleh ayat berikutnya 66.
2.      Al-qur’an menasakhkan As-sunah.
Contoh: Perbuatan nabi dan para sahabat menghadap Baitul Maqdis dalam shalat dinasakhkan oleh ayat QS: al-baqarah:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya...”.[10]
3.      As-sunnah menasakhkan As-sunnah.
Contoh: “aku telah melarangmu menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah
4.      As-sunnah menasakhkan Al-qur’an (imam Syafi’i menolak).
Contoh: QS al-Baqarah: 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
dinasakhkan dengan hadits mutawatir “ketahuilah, tidak ada wasiat untuk ahli waris”

E.     Cara mengetahui adanya Nasakh
Ulama dalam membahas masalah Nasikh dan Mansukh membagi Naskh kedalam tiga kategori utama, yaitu:
1.      Wahyu yang terhapus, baik hukum maupun teksnya di dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilawah jami’an) Contohnya adalah riwayat yang datang dari aisyah tentang terjadinya muhrim karena sepuluh kali susuan, kemudian di naskh dengan lima kali susuan.
“Aisyah berkata: di antara yang di turunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang di ketahui (ma’lum) itu menyebabkan muhrim, kemudian (ketentuan) ini di naskh oleh lima susuan yang di ketahui (ma’lum). Maka ketika Rasulullah SAW. meninggal dunia, lima susuan ini (hukum yang terakhir) tetap di baca sebagai bagian dari teks Al-Qur’an.”
     Kata-kata aisyah ‘lima susuan ini termasuk ayat al-qur’an yang di baca’ secara dzahir dapat di pahami bahwa tilawahnya masih tetap, padahal tidak demikian, sebab teks tersebut tidak terdapat di dalam mushaf resmi usmani. Yang jelas bahwa teks ayat tersebut juga telah di naskh. Hal ini baru di ketahui masyarakat setelah meninggalnya rasulullah saw, sementara sebagian mereka masih membacanya.
2.      Wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm).
Contoh yang sering muncul adalah ayat rajam, ayat yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam bagi orang yang berzina. Dalam beberapa riwayat di nyatakan bahwa Umar bin Khatab memandangnya sebagai bagian dari teks alqur’an. Adapun ayat al-rajm tersebut berbunyi sebagai berikut:

ﺍﻠﺸﺦ ﻮﺍﻠﺸﻴﺨﻪ  ﺍﺬﺍ ﺯﻨﻴﺎ ﻔﺎﺭ ﺟﻤﻮﻫﻣﺎ ﺍﻟﺒﺔ ﻧﻛﺎﻻ ﻤﻥﷲ ﻮﷲ ﻋﻟﻴﻢ ﺤﻜﻴﻢ

Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Allah dan Allah  maha kuasa lagi maha bijaksana
3.      Wahyu yang hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau bacaanya masih terdapat dalam mushaf (naskh al-hukm duna al-tilawah)
Contoh: al-baqoroh 240 ,lalu diganti dengan al-baqoroh: 234.
Imam al-suyuti dengan mengutip perkataan al qadhi abu bakar al-arabi menjelaskan bahwa sedikitnya ada dua hikmah terhadap ayat yang di naskh hukumnya tetapi teks atau bacaanya tetap terekam dalam mushaf. Pertama, bahwa Al-Qur’an di samping di baca untuk di ketahui hukumnya dan di amalkan, juga di baca karena ia kalam Allah yang dengan membacanya akan mendapat pahala maka di biarkannya bacaan (tilawah) tersebut karena hikmah ini. Kedua, bahwa naskh pada ghalibnya adalah untuk meringankan, maka di biarkanya tilawah tersebut untuk mengingatkan nikmat yang di berikan.

F.      Pendapat Ulama’ tentang adanya Nasakh
Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82
Ÿأَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا    
Artinya :
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”

Berikut adalah sikap pro dan kontra dari para ulama tentang masalah Nasikh dan Mansukh :
1.         Ulama-ulama yang mendukung teori nasikh-mansukh diantaranya adalah Imam Syafi’i, An Nahas, As Suyuti dan Asy Syukani. Dasar teori nasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain :
a.       Surat Al-Baqarah ayat 106 :
Artinya :“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
b.      Surat An-Nahl ayat 101 :
Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."
c.       Adanya kenyataan bahwa beberapa ayat ada yang menunjukkan gejala kontradiksi.
Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100  ayat, menurutnya realitas mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.

2.         Ulama-ulama yang menolak adanya teori nasikh-mansukh antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain :
a.       Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran antara lain dalam surat Al-Fussilat ayat 42 :
Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”
b.      Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.
c.       Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas.
d.      Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat al-Quran.
e.       Adanya ayat-ayat yang sepintas nampak kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.


IV.            KESIMPULAN
Naskh adalah menghapus atau menghilangkan suatu perkara dengan perkara lain, didalam naskh ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara lain, dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan hadist, hadist dengan hadist, dan hadist dengan Al-qur’an.
Hukum Tuhan maupun hukum manusia pada dasarnya mewajibkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan kadang-kadang berubah dengan berubahnya keadaan. Diantara hikmahnya dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam suasana keadaan dan di sepanjang zaman.
2.      Untuk menjaga agar perkembagan hukum Islam selalu relevan dengan    semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang    sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
3.      Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan  penggantian-penggantian dari naskh itu mereka tetap taat, setia   mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar  dan membangkang.[11]
V.            PENUTUP
Syari’at Allah adalah perwujudan dan rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Semoga dengan adanya makalah tentang Nasikh Mansukh ini akan menambah atau memperdalam wawasan dan pengetahuan kita tentang agama. Tidak kalah pentingnya, harapan dari pemakalah, semoga dari berbagai uraian permasalahan diatas bisa di jadikan landasan kita dalam mengambil sikap tentang adanya Nasikh Mansukh tersebut. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish, 1992, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Mohamad Nor Ichwan, 2008, Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner, Jakarta: Rasail Media Group.


[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan, 1992), hlm.143.
[3] QuraishShihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan), hlm.13.
[8] Mohamad Nor Ichwan, Ranah Ilmu-ilmu Sosial Agama dan Interdisipliner, (Jakarta: Rasail Media Group, 2008), hlm.109.
[9] Lihat QS.Al-Baqarah: 234.
[10]  Lihat QS.Al-Baqarah: 144.

3 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More